Cerita ini menampilkan perjalanan dari titik terendah hidup dengan usaha menggenggam kesempatan hidup kedua untuk menemukan makna hidup, jalan spiritual, dan memperbaiki diri secara bertahap
Pria muda ini mengalami kejadian mati suri pertama kali saat awal pandemi COVID-19 ketika hidupnya sedang penuh masalah, baik masalah keluarga, teman, maupun gangguan pada fungsi tubuh (Detak jantung lemah, paru-paru basah, batu ginjal, hernia dan darah rendah). Ia mengalami overdosis setelah meminum empat botol arak Bali yang dicampur dengan puluhan pil koplo. Dalam kondisi kritis, ia ditemukan oleh temannya sedang tergeletak dengan mulut berbusa. Saat itu, ia merasakan gelap gulita, kemudian mendengar suara tangisan ibunya dan riuh doa orang-orang di sekitarnya. Ia merasakan dirinya berada di tempat yang dingin dan tiba-tiba terjadi sensasi adrenalin yang luar biasa sebelum melihat cahaya terang yang mendekat. Setelah itu, ia terbangun di kamar jenazah, hanya ditutupi selimut, dan bisa melihat keluarga serta keponakannya yang menangis melihatnya hidup kembali.Momen itu meninggalkan kesan mendalam berupa perasaan menyesal yang luar biasa karena melihat kesedihan dan kasih sayang keluarganya, terutama ibu. Namun, di awal kesadarannya hidup kembali, ia sempat merasa bingung dan tidak bersyukur, bertanya-tanya kenapa ia harus hidup kembali sementara masalahnya belum selesai. Akan tetapi, lambat laun ia mulai menerima dan bersyukur atas kesempatan hidup kedua itu.Selain itu, ada kejadian percobaan bunuh diri kedua dengan senapan angin. Meskipun gagal, dari situ ia menyadari bahwa kematian bukan sesuatu yang bisa dikendalikan manusia. Ia merasa bahwa Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk bertaubat dan berubah.
Setelah kejadian mati suri ini, hidupnya berubah dari pribadi yang jauh dari agama dan menjadi lebih religius dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah lewat salat, ngaji, dan mencari nasihat dari orang-orang paham agama. Ia mengganti cara menenangkan diri yang dengan kegiatan positif seperti pergi ke coffee shop, mendaki gunung, memancing, atau jalan-jalan sendirian untuk menenangkan pikiran.Ia juga mulai menulis buku harian yang dibagikan ke ibunya dan merencanakan menulis sebuah buku berjudul "Menciptakan kebuntuan dari kebuntuan yang saya rasakan," sebagai cara untuk mengungkap bagaimana masalah dalam hidupnya adalah wadah yang bocor dan harus diperbaiki dengan solusi.Meskipun perubahan tidak terjadi secara instan — dilakukan perlahan agar tidak kaget — ia kini merasa lebih memiliki arah dan tujuan spiritual. Ia sadar bahwa penderitaan dan cobaan yang dialami adalah bentuk penghapusan dosa dan ujian dari Allah, serta kesempatan untuk berubah.
Kini, ia percaya bahwa berbagi cerita dan beban pikiran dengan orang lain adalah penting, meskipun tidak selalu mudah untuk menerima nasehat yang sama yang sudah sering didengar. Ia ingin didengar dan diberikan solusi konkret yang bisa diaplikasikan agar bisa terus melangkah maju.
Komentar
Posting Komentar